Sabtu, 14 April 2012

UN: Uji Kompetensi atau Ajang Kompetisi?

UJIAN NASIONAL
ANTARA UJI KOMPETENSI DAN AJANG KOMPETISI*)
Oleh. Syahdiardin

Akhir bulan April dan Awal Mei 2008 digelar hajatan besar tahunan Ujian Nasional (UN) Tingkat SM/MA dan SMP/MTs. Begitu besarnya hajatan itu, panitiapun dibentuk mulai tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, sampai ke sekolah/madrasah penyelenggara. Semua detil penyelenggaraan telah tertuang dalam Prosedur Operasional Standar (POS) yang telah disusun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Apa, mengapa, dan bagaimana menyelenggarakan UN semua sudah diatur dalam POS. Hal yang paling krusial, bagaimana naskah soal UN disiapkan, didistribusikan ke provinsi, ke kabupaten/kota, ke sekolah/madrasah penyelenggara, ke pengawas ruang UN sampai kepada siswa peserta UN, kemudian bagaimana lembar jawaban siswa dikembalikan kepada pengawas rangan UN sampai proses pemindaian sudah diatur dalam POS. Tidak ada celah kebocoran, karena POS dibuat berdasrkan prinsip external dan internal control.
Uji Kompetensi
UN diselenggarakan untuk mengukur sejauh mana siswa mampu mencapai kompetensi sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL), khususnya SKL UN. UN merupakan uji kompetensi untuk mata pelajaran yang diujikan secara nasional, sama seperti mata pelajaran yang tidak diuji secara nasional. Bedanya hanya pada pembuatan soal, yang dibuat secara nasional, sementara mata pelajaran lainnya dibuat sekolah/madrasah masing-masing.

Siswa berprestasi dalam UN adalah siswa yang mampu menguasai kompetensi,  minimal mencapai kriteria yang dipersyaratkan, baik per mata pelajaran maupun secara rata-rata dan semua mata pelajaran UN. Semakin tinggi perolehan nilai siswa di atas standar minimal dan atau semakin dekat dengan standar kompetensi maksimal (100%) semakin baik dan maksimal pula prestasi siswa tersebut.
Sekolah/Madrasah menyadari betul bahwa UN untuk mengukur kompetensi siswa secara nasional, sehingga mereka melakukan persiapan mulai proses rekrutmen siswa dan selama siswa mengikuti proses pembelajaran di sekolah/madrasah. Masa Orientasi Siswa (MOS) diadakan sebelum siswa mengikuti proses pembelajaran agar mereka tahu dan paham dengan lingkungan belajar yang baru. Sekolah/madrasah berlomba dan mencurahkan segala daya dan upaya untuk memberikan pelayanan terbaik kepada siswa peserta didik. Fasilitas, bahan dan sumber belajar disediakan. Kurikumum dan administrasi pembelajaran disiapkan. Guru diasah kemampuannya sampai memperoleh predikat guru tersertifikasi.
Tidak cukup dengan kegiatan pembelajaran reguler, sekolah/madrasah mengadakan pembelajaran tambahan bagi para siswanya. Jika ditanyakan kepada semua warga sekolah/madrasah: Apa tujuan dari segala upaya mereka itu? Tidak pelak lagi mereka akan serentak menjawab: “Agar siswa lulus UN”. itu artinya mereka paham, bahwa siswa harus mengusai kompetensi minimal sesuai SKL mata pelajaran UN. Karena UN adalah Uji Kompetensi, maka siswa harus dibelajarkan.
Ajang Kompetisi
Sekolah/madrasah yang baik adalah yang manajemennya baik. Manajemen yang baik mampu menjadikan sekolah/madrasahnya berkinerja baik. Prestasi siswa yang di dalamnya tennasuk prestasi UN ditingkatkan secara bertahap dan berkelanjutan sejalan dengan peningkatan kinerja sekolah secara utuh dan menyeluruh (School Integrated Development).
Sangat ideal memang, tapi itulah yang harus dilakukan sekolah/madrasah. Sayangnya masih ada sekolah/madrasah menempuh jalan pintas agar dianggap berprestasi. Media massa cetak dan elektronik tidak kehilangan nara sumber kecurangan dalam penyelenggaraan UN. Setiap tahun kita menyaksikan dan membaca berita kecurangan UN.
Sekolah dan madrasah masih ada yang menjadikan UN semata sebagai ajang kompetisi. Merasa bangga dengan peringkat kelulusannya yang lebih balk dan sekolah/madrasah lain, apakah itu peringkat persentase kelulusan atau peringkat nilai tiap mata pelaj aran UN. UN diperlakukan layaknya lomba senam atau lomba olah raga lainnya yang kurang dapat diukur pemenanganya secara sangat objektif. Terjadilah kecurangan demi memenangkan kompetisi. Segala strategi dilakukan, semua energi dicurahkan. Pengawas silang antar sekolah/madrasah dan Tim Pemantau Indipenden (TPI) pun diperdaya. Tanpa rasa malu kalau prestasi itu deperoleh dengan jalan pintas bernama kecurangan.
Apa yang terjadi? Sekolah/madrasah dengan fasilitas seadanya, proses pembelajaran kurang tertib, guru mata pelajaran tidak cukup memenangkan kompetisi. Juara Kabupaten atau kota dan provinsipun diraih, bahkan masuk peringkat elit tingkat nasional. Kepala sekolah/madrasah lega, aman dari zona degradasi, bahkan dapat sinyal promosi. Kepala dinas pendidikan senang, target ujian nasional tercapai. Bupati/wali kotapun puas, karena dana yang diinvestaasikan di sektor pendidikan tidak sia-sia dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, rakyat pemilik dana.
Reaksi dan Harapan Guru
Bagaimana dengan guru? Banyak yang tersenyum kecut dan tertunduk malu. Tidak ada aplus tepuk tangan yang bersahut-sahut saat kepala sekolah dengan “SEMANGAT 45” memaparkan keberhasilan sekolah/madrasah dalam rapat dewan guru. Mereka malu pada diri sendiri, karena UN bukan semata ajang kompetisi, melainkan yang utama adalah uji kompetensi siswa.
Guru hanya menggerutu dalam hati: “Tuan-tuan yang terhormat! Jangan sampai ada komonitas air mata guru jilid II. Kami guru tersertifikasi, guru professional, harus mempertanggung jawabkan profesionalitas kami kepada masyarakat, kepada rakyat yang memberi kami makan, bukan kepada tuan-tuan.”
Mengubah Paradigma
Paradigma terhadap hasil UN harus diubah. Peringkat kelulusan, apalagi peringkat perolehan nilai rata-rata tiap mata pelajaran harus disikapi sebagai tolok ukur pencapaian penguasaan siswa atas SKL mata pelajaran UN.
Jangan malu, apalagi merasa kebakaran jenggot jika peringkat sekolah/madrasah, kabaupaten/kota, atau provinsi di bawah yang lain. Hasil UN seharusnya dipakai sebagai dasar pengambil kebijakan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Bisa jadi pendidikan di setiap level mulai dan sekolah/madrasah sampai tingkat nasional masih ada yang salah urus.
Di tingkat kabupaten/kota yang memiliki kewenangan mengelola pendidikan dasar dan menengah adalah penentu kebijakan keberhasilan UN. Kebijakan pemerataan dan penempatan personil pengelolan pendidikan memerlukan perhatian serius, terutama penempatan kepala sekolah dan pejabat struktural yang mengurus persekolahan. Jabatan-jabatan tersebut mengelola pekerjaan yang sangat teknis, apalagi jika dikaitkan dengan keinginan berprestasi dalam UN.
Hanya guru berkemampuan lebih sesuai standar kualifiksi dan kompetensinya yang bisa ditempatkan sebagai kepala sekolah. Hanya guru atau kepala sekolah yang berkompetensi, berprestasi memimpin, dan berpengalaman mengelola sekolah yang pantas dipromosikan menjadi pengawas sekolah atau jabatan yang mengurus persekolahan. Karena orang-orang seperti itulah yang memahami dan dapat mewujudkan UN sebagai uji kompetensi. Merekalah yang berkompetensi mengurusi teknis pendidikan.
Orang-orang yang berkompetenlah yang memiliki strategi dan lebih memahami, bahwa penguasaan siswa yang tinggi atas SKL itulah kemenangan sesungguhnya. Penguasaan SKL terbaik itulah pemenang kompetisi sesungguhnya, bukan kemenangan semu yang menghalalkan segala cara. Semoga UN tahun ini jauh dan kecurangan, sehingga pemenang kompetisi merupakan pemenang pengusaan kompetensi, bukan sebaliknya. Amin. Semoga.

*)   Ditulis untuk bahan renungan menjelang UN Tahun 2008
      Semoga masih relevan untuk direnungkan menjelang UN Tahun 2012

1 komentar:

  1. setuju ......, padahal pendidikan karekater sedang didengung2kan, tapi kecurangan masih diajarkan kepada siswa. Mau dibawa kemana anak kita ?

    BalasHapus