SUPERVISI DI
KANTIN, GURU SENANG SUPERVISI BERHASIL
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Hasil pembinaan
pelaksanaan pembelajaran terhadap 42 orang Guru SMK di lingkungan Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Batang Hari pada Tahun Pelajaran 2012/2013 adalah
seperti pada lampiran 1. Data tersebut menunjukkan, bahwa hanya 22 orang (52,38%)
guru yang memperoleh nilai minimal baik. Dari skor maksimal 4, skor perolehan rata-rata
kegiatan pendahuluan 3,00, kegiatan inti 2,94, dan kegiatan penutup 2,61. Pada
kegiatan inti diperoleh informasi skor rata-rata kegiatan eksplorasi 2,94, kegiatan
elaborasi 2,90, dan kegiatan konfirmasi 2,88.
Hasil yang
dicapai guru-guru per sekolah juga kurang memuaskan, karena guru-guru binaan di
SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 yang sudah mencapai nilai rata-rata baik sebenarnya
belum memuaskan. Walau dari data pada lampiran 2 menunjukkan, bahwa skor
rata-rata yang diperoleh guru-guru di dua sekolah tersebut adalah 3,01 dan 3,00,
tapi skor tersebut baru masuk rentang awal nilai baik. Apalagi guru-guru di dua
sekolah ini belum ada yang mencapai nilai amat baik. Nilai tertinggi yang
dicapai adalah 3,54 oleh guru SMK Negeri 1 dan 3,40 oleh guru SMK Negeri 2.
Pengawas sudah melakukan supervisi dengan menggunakan
instrumeninstrumen yang ada dalam Buku Kerja Pengawas Sekolah yang sudah sesuai
dengan standar proses. Pengawas sudah memberikan saran-saran perbaikan di instrumen
pemantauan pelaksanaan pembelajaran kepada para guru yang dibina. Saran-saran perbaikan
tersebut dicatatkan lagi dalam buku tamu (pembinaan) yang disimpan di ruang
kepala sekolah. Namun kondisi guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran tetap
kurang memuaskan.
Sebagian guru masih
mengajar dengan berceramah dengan sesekali diselingi pertanyaan: Sudah
mengerti? Kalau belum tanyakan ya! Pertanyaan diikuti seruan dengan nada yang
agak tinggi (yang mungkin) sebagai penyebab siswa enggan bertanya. Karena tidak
ada yang bertanya, lanjut si guru, berarti sudah mengerti semua, maka sekarang
buka buku halaman sekian dan kerjakan soal nomor sekian. Kondisi ini
ditunjukkan pada photo nomor 1 dan 2 di lampiran 3.
Guru yang
sebagian lagi mengajar seperti pada photo nomor 3 pada lampir-an 3. Mereka (beranggapan)
mengajar sudah lebih canggih dengan menayangkan slide demi slide dari PowerPoint. Namun pada dasarnya mereka
tetap berceramah, kalau tidak mau disebut mendikte, dengan memindahkan teks dari buku ke slide ProwerPoint.
Pembinaan terhadap
guru-guru melalui “supevisi” telah dilakukan
pengawas, baik secara individu maupun secara berkelompok. Pembinaan sudah
dilakukan dengan cara konsultasi, pemberian contoh, diskusi, dan pelatihan.
Kegiatan-kegiatan pembinaan telah dilakukan hampir sempurna mendekati tuntutan
jam ekulivalen tatap muka pengawas berada di sekolah 24 jam pelajaran per
minggu. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan secara formal di MGMP, ruang guru,
ruang pembelajaran khusus, atau di ruang kepala sekolah sebagaimana ditunjukkan
dengan contoh pada photo nomor 4 di lampiran 3.
Hasil pembinaan oleh
pengawas terhadap guru-guru memprihatinkan, tidak memuaskan dan mengecewakan,
terutama guru honorer atau Guru Tidak Tetap (GTT) dan guru pada sekolah swasta.
Dari 27 orang guru SMK Negeri (17 orang PNS dan 10 orang GTT) yang belum
mencapai nilai baik sebanyak 10 orang, 1 orang merupakan guru PNS. Sedangkan 11
orang guru lainnya yang belum mencapai nilai baik merupakan bagian dari 15
orang guru SMK swasta.
Perlu ada
perubahan yang dilakukan dalam pelaksanaan supervisi agar kemampuan guru dalam proses
pelaksanaan pembelajaran bisa lebih baik. Apakah mungkin karena kegiatan
supervisi selama ini dilakukan terlalu formal, sehingga guru yang disupervisi merasa
tidak nyaman dan kurang bebas? Karena supervisi seperti itu bertentangan dengan
gaya pebelajar dewasa? Sebagaima disebut Danim (2010), bahwa pebelajar dewasa
memiliki gaya belajar independen. Guru sebagai pebelajar dewasa membutuhkan suasana belajar yang nyaman
yang biasa membuat mereka tidak merasa berada dalam situasi yang terlalu
mengikat.
Pengawas harus
mengubah suasana pelaksanaan supervisi dari yang terlalu formal ke suasana yang
lebih santai. Selama ini pengawas melakukan pembinaan terhadap guru lebih
cendrung mengembangkan hubungan komunikasi yang sangat formal seperti antara
atasan dan bawahan. Oleh sebab itu pengawas harus mengembangkan hubungan atau
komunikasi yang membuat guru lebih merasakan pengawas sebagai mitra kerjanya.
Untuk itu pertemuan-pertemuan dalam rangka pembinaan guru akan dilakukan di
kantin sekolah.
1.2
Pendekatan
Penyelesaian Masalah
Pendekatan yang
digunakan dalam supervisi ini adalah pendekatan direktif, karena pendekatan ini
menurut Atmodiwiryo (2011) dilakukan terhadap guru yang tidak bermutu. Dengan
pendekatan ini pengawas memberikan arahan, penjelasan, memberi contoh, dan
menguatkan.
Sedikit
modifikasi dilakukan dimana pengawas tidak memberikan hukuman (funishment)
dan lebih banyak melakukan tanya jawab dan konsultasi. Pendekatan ini dilakukan
dalam suasana yang tidak terlalu formal dengan meciptakan kehangatan dan rasa
dihargai pada guru yang disupervisi. Hal ini sesuai dengan yang disebut Glasser
dalam Joyce dan Weil (1972), bahwa kegagalan di sekolah bukan karena kegagalan
mencapai target akademik yang tinggi, tetapi karena tidak terpenuhi kebutuhan
dasar si pebelajar sebagai manusia: dicintai (hubungan yang hangat) dan
dihargai (respect atau self-worth).
1.3
Tujuan dan
Manfaat Best Practice
Tujuan best pactice ini adalah untuk
mengungkapkan keberhasilan supervisi yang dilaksanakan dalam suasana pertemuan
yang lebih rileks, lebih santai, dan tidak terlalu formal di kantin sekolah.
Sedangkan manfaatnya adalah diperolehnya cara supervisi yang dapat dapat
menunjang keberhasilan guru dalam melakukan proses pembelajaran siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar